Terastangerang.com- Sosialisasi Empat Pilar bersama Anggota MPR-RI, Dr. H Mulyanto M.Eng mengupas tentang sejarah, proses dan pondasi terbentuknya dasar Negara Republik Indonesia digelar di Kampung Sengkol, RT 05 RW 02 Kelurahan Setu, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan pada Sabtu, 11 Mei 2024.
Sosialisasi Empat Pilar dihadiri sejumlah tokoh masyarakat, tokoh ulama dan tokoh pemuda Kecamatan Setu. Dengan sambutan pembuka oleh Reza Indrawan selaku tokoh Kecamatan Setu.
Selain mengupas sejarah, proses dan pondasi terbentuknya Dasar Negara Republik Indonesia. Didepan para peserta sosialisasi, Anggota MPR-RI, Mulyanto juga menjelaskan tentang hubungan erat antara negara dengan agama lebih khususnya Agama Islam.
“Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, ada sebuah isyarat bahwa Indonesia adalah negara yang sangat religius. Hal ini dibuktikan dengan sebuah kalimat yang memiliki makna sangat mendalam, yaitu, ‘Atas Berkah dan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini Kemerdekaannya,” paparnya.
kemerdekaan Indonesia sambung Mulyanto, adalah Atas Berkah, Rahmah Allah Yang Maha Kuasa. Bukan atas pemberian ataupun hadiah dari negara lain. Jadi ada hubungan saling terkait dan bersinergi antara kemerdekaan dengan agama.
Mulyanto yang juga politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, mengungkapkan, dalam rancangan pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 22 Juni 1945. Saat itu, Piagam Jakarta dirumuskan oleh Panitia Sembilan pada sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dilaksanakan 2-9 Juni 1945.
“Tujuan Panitia Sembilan untuk menampung serta menyelaraskan usulan usulan anggota BPUPKI yang sudah disampaikan, khususnya mengenai hubungan negara dan agama. Dimana anggota BPUPKI sendiri terbagi kedalam dua golongan, yaitu golongan nasionalisme dan Islam,” urainya.
Sambung Mulyanto, setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya dirumuskan naskah yang disebut Piagam Jakarta yang nantinya sebagai pembuka dalam UUD 1945 yang didalamnya memuat butir-butir Pancasila.
Salah satu butir yang tertuang dalam piagam Jakarta, adalah rumusan Pancasila. Dan, isi rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta pada sila ke 1 berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Namun, akhirnya setelah BPUPKI digantikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, isi rumusan Pancasila tersebut mengalami perubahan. Dan masih di hari yang sama, PPKI bersidang untuk mengesahkan dasar negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Perubahan isi Pancasila, didasari atas usulan Laksamana Maeda yang menyampaikan kepada Muhammad Hatta, bahwa rakyat Indonesia bagian timur merasa keberatan dengan sila pertama.
Hingga akhirnya, rumusan isi Pancasila berubah menjadi; 1 ketuhanan yang Maha Esa, 2.Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, pasca Kemerdekaan pun, telah dilakukan berbagai amandemen dan perubahan terhadap UUD 1945. Hingga akhirnya masyarakat Indonesia menerima dengan ikhlas, dan menyatakan bahwa tidak akan mengubah pembukaan Undang Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia,dan akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen,” terangnya.
Pada forum tanya jawab, salah satu peserta Sosialisasi Empat Pilar, Ema Rosmalia dari Kademangan, Setu melontarkan prtanyaan , seberapa rapuh lembaga negara? Atas pertanyaan tersebut, Mulyanto menjelaskan bahwa Indonesia mengalami perubahan dimana Kekuasaan terbesar yaitu hukum dan rakyat, tetapi ada sekelompok orang yang sudah berusaha untuk berkuasa dengan cara merubah hukum yang ada. Sedangkan perangkat hukum sudah dalam kendali kekuasaan. sehingga hasilnya tidak legitimate di hati masyarakat.
Sementara itu, Peserta atas nama Wawan yang berasal dari Kelurahan Setu juga mempertanyakan terkait hari lahir Pancasila yang di peringati pada 1 Juni setiap tahunnya, padahal kelahirannya pada 22 Juni.
Terkait hal ini, Mulyanto menjawab tegas bahwa , hal tersebut kembali pada keinginan siapa yang berkuasa.
“Oleh karena itu kita harus kembalikan bahwa negara kita berdasar negara hukum bukan negara kekuasaan, sehingga berbangsa dan bernegara bisa kembali menjadi tertib,” pungkasnya. (mln)